Senin, 27 Januari 2020

Harakat A Bukan O

"A" BUKAN "O"

Alangkah jauh lebih baik kalau kita membiasakan mentransliterasikan huruf-huruf tafkhim (tebal) dalam bahasa Arab, seperti:

الخاء، الراء، الصاد، الضاد، الطاء، الظاء، الغين، القاف,الله
Pada saat berharakat fathah dengan tetap menggunakan huruf "A" bukan "O":

Khā, Rā, Shād, Dhād, Thā, Zha, Ghain, Qāf, Allāh

Hal ini disebabkan kebiasaan orang-orang Arab yang mengucapkannya dengan membuka mulut saat melafazhkan huruf-huruf tersebut, bukan dengan memonyongkannya.

Dalam tradisi bahasa Arab, huruf vokal asli hanya ada tiga:
U atau dhammah (memonyongkan bibir)
I atau kasrah (menarik mulut)
A atau fathah (membuka mulut)

Namun, dalam bahasa Arab terdapat huruf tipis dan huruf tebal yang berbeda dengan tradisi bahasa Indonesia. Memang, dalam bahasa Arab terdapat huruf vokal cabang, yakni imalah dan taqlil. Mengucapkan bunyi vokal di antara A dan I menjadi E (imalah) dan A dan I namun masih dominan A-nya (taqlil). Sedangkan huruf O tidak dikenal dalam tradisi bahasa Arab. Dan orang-orang Arab menyamakan huruf O dengan U disebabkan cara mengucapkannya yang sama, yakni dengan memonyongkan kedua bibir.

Jadi, orang-orang Arab hanya memonyongkan mulut pada saat mengucapkan huruf-huruf berharakat dhammah, dan juga huruf Waw dalam seluruh keadaannya. Karenanya, kebanyakan Masyayikh Ahli Qirāāt menganggap bahwa memonyongkan mulut pada saat mengucapkan huruf-huruf tebal yang fathah sebagai salah satu bentuk lahn yang mesti dihindari.

Ketika kami bertalaqqi dengan para Masyayikh dari Timur Tengah, apabila ada yang membaca huruf fathah dengan memonyongkan bibir, mereka selalu mengatakan:

لا تضم الشفتين
"Jangan mendhammahkan (memonyongkan) kedua bibir."

Karena menurut kebiasaan orang-orang Arab, memonyongkan bibir selalu bermakna dhammah. Artinya saat huruf tersebut berharakat fathah, tidak boleh dimonyongkan.

Memang ada sebagian Ahli Qirāāt yang memperbolehkan memonyongkan bibir saat fathah, bahkan sebagian kecil di antara mereka mengharuskannya untuk melatih pengucapan huruf-huruf tebal. Namun, kami sendiri belum pernah secara langsung bertalaqqi dengan para Masyayikh yang mengamalkannya, dan penjelasan dari kebanyakan para Masyayikh kibar (senior) dalam masalah ini lebih cenderung tidak memonyongkannya.

Apabila kita membiasakan untuk mentransliterasikan huruf-huruf tebal fathah dengan huruf "O", maka yang terlintas di kepala kita saat mengucapkannya adalah langsung memonyongkan bibir, seperti:

Ro, Kho, Alloh, dst.

Kebiasaan seperti ini akan menyulitkan para penuntut ilmu yang bertalaqqi dengan para Masyayikh Timur Tengah, karena kebanyakan para Masyayikh sebagaimana kami sampaikan tidak mengamalkannya, bahkan menganggapnya sebagai lahn yang mesti dihindari.

Lain halnya kalau transliterasi tersebut dibiasakan dengan huruf "A", maka orang yang membaca dan melafazhkan akan terbiasa membuka mulutnya, bukan dengan memonyongkannya. Dan ini lebih selamat dan kami menilai lebih sesuai dengan teori fathah itu sendiri yang artinya terbuka atau membuka mulut. Wallāhu a'lam.

Semoga bermanfaat.

- Muhammad Laili Al-Fadhli -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar